This Is My Work

Hukumnya Dana Zakat Diberikan Kepada Anak Yatim Piatu

Gambar
Hukumnya Dana Zakat Diberikan Kepada Anak Yatim Piatu Jika mengacu pada firman Allah QS At-Taubah 60, anak yatim tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang berhak menerima zakat. Atau dalam istrilah perzakatan, biasa disebut sebagai mustahiq. Mereka adalah fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, orang yang dililit utang, orang yang berjuang di jalan Allah, dan musafir alias Ibnu Sabil. Jadi, anak yatim memang tidak masuk golongan penerima zakat yang delapan itu. Akan tetapi, jika si anak yatim itu memenuhi syarat dan kriteria-kriteria di atas—fakir dan miskin, misalnya—dia berhak untuk menerima zakat fitrah—juga zakat penghasilan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ibn Utsaiman di awal tulisan ini: anak yatim yang miskin berhak menerima zakat. Anak yatim tidaklah mendapatkan zakat kecuali jika dia termasuk delapan ashnaf (golongan yang berhak menerima zakat). Anak yatim bisa saja kaya karena ayahnya meninggalkan harta yang banyak untuknya. Bisa jadi ia pun...

FIQIH ZAKAT Dan IMPLIKASINYA



FIQIH ZAKAT Dan IMPLIKASINYA




A.        Pengertian Zakat
Secara etimologi zakat berarti tumbuh (numuww) dan bertambah (ziyadah). Zakat juga  memiliki nama lain thaharah (suci) sebagaimana dalam firman Allah surah
ôs%yxn=øùr&`tB$yg8©.yÇÒÈ
“ Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”, [1]
Adapun zakat menurut terminologi adalah hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta. Mahab Maliki mendefinisikannya dengan, mengeluarkan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya (mutahiqq)-nya. Dengan catatan kepemilikan itu penuh dan mencapai haul (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian.”
Menurut istilah zakat berarti kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan nilai bersih dari kekayaannya yang tidak melebihi satu nisab, diberikan kepada mustahik dengan beberapa syarat yang telah ditentukan.[2]
Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah harta yang wajib disihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.[3]
Menurut mazhab Hanafi bahwa zakat merupakan “menjadikan sebagian harta khhusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus yang ditentukan oleh syariat karena Allah swt. “kata sebagian harta sebagai harta milik” (tamlik) dalam definisi di atas dimaksudkan sebagai penghindaran dari kata ibahah (pembolehan).[4]
Menurut mazhab syafi’i, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai ddengan cara khusus . sedangkan menurut mazhab Hanbali, zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula.
Zakat menurut terminologi para fuqaha, dimaksudkan sebagai “penuaian”, yaknni penuaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Zakat.

B.        Landasan Normatif Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun islam yang ke tiga dan wajib dilaksanakan. Dalam al-qur’an zakat digandengkan dengan kata sholat dalam delapan puluh dua tempat. Hal ini menunjukkan keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Zakat diwajibkan dalam al-Qur’an, sunnah, dan Ijma’ ulama. Dalil-dalil yang terdapat dalam al-qur’an adalah sebagai berikut:
1.      Surah At-Taubah ayat 103:

õõ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Q.S: 9: 103)
2.      Surah Al-An’am ayat 141:
(

“...dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin);...” (Q.S: 6: 141).[5]
وَأَقِيمُواْٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta orang-orang yang ruku
Adapun dalil-dalil dari sunnah ialah sebagai berikut.
بُيِنَاِسْلَامُعَلَىخَمْسٍ  ...  مِنْهَاإِيْتَاءُالزَّكَاةِ
Islam dibangun atas lima erkara,... zakat...”.[6]
Nabi saw mengutus Mu’az bin Jabal ke daerah Yaman. Kemudian beliau bersabda kepadanya:
اَعْلِمْهُمْاَنَّاللَّهَاِفْتَرَضَعَلَيْهِمْصَدَقَةًتُوءْخَذُمِنْاَغْنِيَاءِهِمْ٠فَتُرَدُّعَلَىفُقَرَاءِهِمْ
“...Jika mereka menuruti perintahmu untuk itu- ketepatan atas mereka untuk mengeluarkan zakat – beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah swt. mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan lagi kepada orang-orang fakir diantara mereka ...”[7]
Adapun dalil berupa ijma’ ialah adanya kesepakatan semua (ulama) umat Islam di semua negara kesepakatan bahwa zakat adalah wajib. Bahkan orang-orang enggan  mengeluarkan zakat. Dengan demikian barang siapa yang mengingkari kefarduannya, berarti ia kafir atau jika sebelumnya dia merupakan seorang muslim yang dibesarkan di kalangan muslim, menurut kalangan para ulama- murtad. Kepadanya diterapkan hukum-hukum orang murtad. Dia tidak dihukumi sebagai orang kafir dia memilki uzur.[8]

C.        Kedudukan Zakat
Pada awal diwajibkannya zakat pada masa Rasulullah Saw., pelaksanaan zakat ditangani sendiri oleh Rasul Saw. Beliau mengirim para petugasnya untuk menarik zakat dari orang orang yang ditetapkan sebagai pembayar zakat, lalu dicatat, dikumpulkan, di jaga, dan akhirnya dibagikan kepada para penerima zakat. Rasulullah Saw., pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Pernah pula mengutus Ali Bin Abi Tholib ke Yaman urntuk menjadi amil zakat. Muaz Bin Jabal pernah diutus Rasulullah Saw., pergi ke Yaman, di samping tugas sebagai da’i, juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat. Demikian pula yang dilakukan oleh para khulafa ar-rasyidin sesudahnya, mereka selalu mempunya petugas khusu yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan maupun pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahik, menunjukkan keawajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal karitatif, tetapi juga suatu kewajiban yang bersifat otoritatif.[9]
Dalam kontes kenegaraan, zakat seharusnya menjadi bagian utama dalam penerimaan negara. Zakat harus masuk dalam kerangka kebijakan fiskal negara dan bukan hanya dijadikan pengeluaran penguarangan penghasilan kena pajak, kaerena justru akan mengurangi pendapatan negara. Zakat harus dikelola oelh negara dan ditegakkan hukumnya dalam peraturan perundangan-undangan yang mengatur berabgai aspek tentang zakat.
Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan undang-undang No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 Tahun 1999 tentang pelaksnaaan undang-undang No.38 Tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Meskipun harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tudak dijatuhkan sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya akan tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola akat yang amanh, kuat dan dipercaya masyarakat. [10]

D.        Tujuan Zakat
Tujuan pengelolaan zakat menurut amanah Undang-undang No.38 Tahun 1999 adalah :
1.      Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama.
2.      Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3.      Menimgkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Sedangkan hikmah zakat antara lain.
1.      Menghindari kesenjangan sosial antara aghniya dan du’afa.
2.      Pilar amal jam’i antara aghniya dengan para mujahid dan da’i yang berjuang dan berdakwah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
3.      Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk.
4.      Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat.
5.      Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan.
6.      Untuk pengembangan potensi Umat.
7.      Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam.
8.      Menambhan pendapatan Negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi umat.[11]

E.        Implikasi Sosial Zakat
Selain itu juga zakat juga merupakan ibadah yang memiliki nilai dimensi ganda, trasendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat sangat memiliki arti dalam kehidupan umat manusia, terutama Islam. Zakat juga memiliki Dampak penting yang berkaitan dengan Allah SWT maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia, anatara lain:
1.      Menolong, membantu, membina, dan membangun kaun dhuafa yang lemah papah dengan materi sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Dengan kondisi tersebut mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT.
2.      Membersihkan/menyucikan harta, jiwa manusia dari sifat kikir serta cinta dunia, berakhlak dengan sifat Allah, mengembangkan kekayaan batin, menarik simpati dna rasa cinta fakir Miskin, menyuburkan harta, membantu orang yang lemah sebagai tanda syukur terhadap kepemilikan harta dan mendorong untuk berusaha, bekerja keras, kreatif dan produktif dalam usaha serta efesiensi waktu.
3.      Menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta, dan keseimbangan tanggung jawab individu dalam masyarakat.
4.      Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: Umatan Wahidatan (umat yang satu), Musawah (persmaan derajat, dan kewajiban), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), Takaful ijt’ma (tanggung jawab bersama).
5.      Dapat menyucikan diri dari kotoran dosa, memurnikan jiwa dan mengikis sifat bakhil serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan batin karena terbebas dari tuntunan Allah SWT. Dan kewajiban kemasyarakatan akan selalu melingkupi hati.
6.      Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera di mana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai, dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi tentram, aman lahir batin. Dalam masyarakat seperti itu takkan ada lagi kekhawatiran akan hidupnya kembali bahaya komunisme dan paham atau ajaran yang sesat dan menyesatkan. Sebab dengan dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan yang di hadapi kapitalisme dan sosialisme dengan sendirinya sudah terjawab. Akhirnya sesuai dengan janji Allah Swa., akan terciptalah sebuah masyarakat yang baldatun thoyibun wa Rabbun Ghafur.[12]
Dampak sosial yang lainnya dalam zakat atau dalam pendistribusiannya, yang dilakukan harus mampu mengangkat dan meningkatkan taraf hidup umat Islam, terutama penyandang masalah Sosial. BAZ ataupun LAZ yang ada harus memiliki misi mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Karena hal ini dapat membantu pemerintah menagatasi kemiskinan jika dikelola dengan baik. Dan pendayagunaan zakat bisa dilakukan dalam dua pola, dengan pola konsumtif dan produktif. Program penyaluran hasil pengumpulan zakat secara konsumtif bisa dilakukan untuk memenuhi kebuthuan dasar ekonomi para musatahik melalu pemberian langsung, maupun melalui lembaga-lembaga yang mengelola fakir miskin, panti asuhan, maupun tempat-tempat ibadah yang mendistribusikan zakat kepada masyarakat. Sedangkan program penyaluran hasil pengumpulan akat secara produktif dapat dilakukan melalui program bantuan pengusaha lemah, pendidikan gratis dalam bentuk beasiswa, pelayanan kesehatan gratis.[13]


DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash-Shidieqy, Teungku Muhammad. 1998.Pedoman Zakat, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
al-Jaziri, Abdurahman. 1990. Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikri,  Jilid 1.
Mufraini , M. Arief. 2006. ManajemenZakat. Jakarta: Kencana, 2006
Muhammad Azzam , Abdul Aziz. 2009.Fiqih Ibadah. Jakarta: Amzah
Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta:Kencana Prenada Media Group.
Uhayly,Wahbah. 2005.Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: Remaja Rosdakarya.



[1]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), hlm: 83.
[2] Abdurahman al-Jaziri, Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikri,1990, Jilid 1. Hal. 590.
[3] M. Arief Mufraini, ManajemenZakat, (Jakarta: Kencana, 206), hlm: 45.
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, hlm: 84.
[5]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, hlm: 89
[6] Hadits ini diriwayatkan oleh bukhari Muslim dan Abu Hurairah yang mengatakan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw pernah duduk dan didatangi oleh seseorang yang kemudian berkata, “wahai Rasulullah, apakahIslam itu?” Rasulullah saw menjawab “Islam itu ialah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, engkau  mendirikan sholat fardu, menunaikan zakat, dan melaksanakan puasa di bulan Ramadhan”. Dan ternyata seseorang itu adalah Jibril a.s.
[7] Diriwayatkan oleh al-jama’ah dari Ibn Abbas (lihat Nayl al-Wathar, IV)
[8]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, hlm: 91.
[9] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm: 93.
[10] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009),   Hal: 409.
[11] Wahbah Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm: 68.
[12] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Hal: 412.
[13]Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Hal: 431.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siapa Yang Mengawasi Kegiatan Ekonomi Syariah??

Kemiskinan menurut tinjauan filsafat