This Is My Work
Komponen dalam Moneter Islam
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komponen dalam Konsep Moneter Islam
1. Mata Uang
Perkembangan
ekonomi memerlukan suatu alat tukar yang penggunaannya kekal sepanjang zaman.
Alat tukar yang paling tahan itu ialah barang-barang dari logam, seperti :
emas, perak, dan tembaga.[1]
Menurut Imam Al-Ghazali (450–505 H / 1058–1111 M), sejarah
membuktikan bahwa pada zaman sebelum Nabi Muhammad SAW, orang Arab sudah
mengenal adanya mata uang, tetapi semuanya dari luar Arab. Mereka mengenal mata
uang emas, yaitu Dinar dari Romawi dalam perdagangan mereka ke Utara (Syiria),
dan mengenal mata uang perak, yaitu Dirham dari Persia dalam perdagangan mereka
ke Selatan (Yaman). Barulah pada tahun ke-15 H/536 M, yaitu 4 tahun sesudah
wafatnya Nabi Muhammad SAW – Khalid bin Walid – pahlawan Islam terkenal itu
membuat mata uang sendiri di Thabariyah, daerah Syiria. Dalam pembuatan mata
uang pertama itu masih meniru mata uang Romawi. Ia melukisnya dengan gambar,
salib, mahkota, dan tongkat kebesaran, sedangkan di sebelahnya ada tulisan
dengan huruf Yunani BON. Sedangkan mata uang logam perak –
Dirham Islam dibuat tahun 28 H/648 M di Thabaristan (Persia), di mana pada
pinggiran mata uang itu ada huruf Arab dengan huruf Kaufah, yaitu Bismillahi Rabbi.
Adapun
mata uang Islam yang pertama kali dicetak oleh kantor percetakan negara Islam
baru terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Bani
Umayyah (65-86 H/685-705 M), sesudah merundingkannya dalam musyawarah dengan
para ulama dan pemuka. Maksud pembuatan mata uang itu diketahui oleh Keizer
Romawi yang menganggapnya telah merusak hubungan ekonomi antara Arab dan
Romawi. Ia mengirimkan surat ancaman kepada Khalifah Abdul Malik agar
menghentikan usahanya itu demi hubungan baik antara kedua negara.
Kalau
diteruskan juga, tulisan atas nama mata uang harus ditambahkan kata-kata yang
tiada sangkut pautnya dengan Islam atau kata-kata yang menghina Nabi SAW.
Ancaman tersebut menyebabkan Abdul Malik menganggapnya sebagai kebulatan
pendapat dari seluruh umat, termasuk oposisi di masa itu, yaitu partai Syi’ah.
Oleh karena itu, ia mengundang pemimpin partai oposisi, Muhammad Al-Baqir untuk
datang ke ibu kota Damaskus untuk merundingkan soal yang penting itu. Undangan
tersebut dipenuhi oleh pemimpin Syi’ah dan berakhir dengan persetujuan bulat
atas maksud baik Khalifah Umayyah, demi kebangkitan perekonomian umat Islam.
Dalam mata uang Dinar dan Dirham itu dilukis kalimah tauhid dan disebelahnya
ditulis nama Nabi SAW, serta menyebut nama negeri, dan tahun mencetaknya.
Mata
uang Islam yang pertama ini diberi nama Dimaskiyah, sesuai dengan nama kota
tempat mencetaknya, Damaskus. Khalifah mengirimkan mata uang itu ke seluruh
negara, memerintahkan supaya seluruh mata uang Romawi dan Persi dibekukan,
serta tidak boleh beredar lagi.[2]
Imam
Al-Ghazali menyatakan
bahwa mata uang berfungsi sebagai alat tukar dan nilai harga dalam seluruh
transaksi ekonomi, ditetapkan menurut mata uang sendiri. Oleh karena itu,
Al-Ghazali mengecam orang yang menimbun uang. Orang demikian dikatakannya
sebagai penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang melebur dinar dan dirham
menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka ini dikatakannya sebagai orang yang
tidak bersyukur kepada Sang Pencipta dan kedudukannya lebih rendah dari orang
yang menimbun uang, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara
dari peredaran, sednagkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamannya.
Peredaran uang palsu sangat dikecam Al-Ghazali karena kandungan emas/peraknya
tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Mencetak uang palsu
dosanya akan terus berulang setiap kali uang itu dipergunakan dan akan
merugikan siapa pun yang menerimanya dalam jangka waktu lama.
Al-Ghazali
memperbolehkan uang yang tidak terbuat dari emas/perak, seperti uang logam dan
uang kertas yang saat ini banyak digunakan asalkan pemerintah menyatakannya
sebagai alat bayar resmi dan demikian juga pendapat Ibnu Khaldun, hanya saja
pemerintah wajib menjaga nilai uang yang dicetaknya karena masyarakat
menerimanya tidak lagi berdasarkan berapa kandungan emas/perak didalamnya.
Misalnya, pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 yang setara dengan ½
gram emas. Apabila kemudian pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 seri
baru dan ditetapkan nilainya setara dengan ¼ gram emas, maka uang akan
kehilangan makna sebagai standar nilai. Namun Al-Ghazali dan
Ibnu Taimiyah melarang perdagangan mata uang Dinar dengan Dinar karena akan
menghilangkan fungsi dari uang itu sendiri, di samping akan menimbulkan
inflasi. Seperti pasar uang yang terjadi saat ini, di mana sebagian
besar uang dipergunakan untuk memperdagangkan uang itu sendiri.
Sedangkan
menurut Ibnu Khaldun, mata
uang berfungsi sebagai alat penukar dan pengukur harga sebagai nilai usaha, alat
perhubungan, dan alat simpanan dalam bank-bank.
Inflasi
merupakan suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang-barang dan
jasa-jasa secara umum bukan satu macam barang saja dan sesaat. Sejarah
menunjukkan bahwa salah satu negara yang ditandai dengan kenaikan harga secara
cepat adalah Mesir di sekitar tahun 330 sebelum Masehi pada waktu pemerintah
Alexander Agung menyerbu Persia dengan membawa emas (hasil rampasan tentunya)
ke Mesir. Dan juga negara Jerman mengalam hyper
inflation pada awal tahun
1920-an di mana laju inflasi mencapai beberapa ratus persen per tahunya. Negara
Indonesia juga tidak luput dari penyakit hyper
inflationdi tahun 1960-an, di mana laju inflasi mencapai 650%.
Sedangkan
dalam sejarah ekonomi Islam, banyaknya peredaran mata uang, terutama fluktuasi
harga perak menyebabkan nilai mata uang Dinar dan Dirham selalu naik dari waktu
ke waktu dan nilainya pun berbeda dari suatu daerah dengan daerah lain.
Perbandingan antara dua mata uang logam itu adalah 10 pada zaman Nabi Muhammad
SAW dan tetap stabil pada level itu selam periode keempat khalifah pertama
(11-41 H/632-661 M). Namun, stabilitas ini tidak dapat berlangsung terus. Dua
logam mulia itu menghadapi berbagai kondisi permintaan dan penawaran sehingga
menimbulkan ketidakstabilan harga relatifnya. Umpamanya pada paro kedua periode
Umayyah (41-132 H/661-750 M), perbandingan harga relatif sekitar 12, sementara
pada periode Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M) mencapai 15 atau kurang. Rasio
itu terus mengalami fluktuasi dan berkali-kali mengalami kemerosotan sampai
pada tingkat 20, 30, bahkan 50.[3]
Menurut Al-Maqrizi dan Al-Asad (w. 854 H/1440 M), ketidakstabilan ini
membuat mata uang dari logam buruk menendang dari sirkulasi mata uang logam
baik. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan Al-Maqrizi menghimbau agar
negara menghindari dan tidak mencetak mata uang yang berlebihan dalam upayanya
menutup defisit anggaran negara karena akan berakibat pada inflasi.
Menurut Ibnu Khaldun, dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah maka kenaikan maupun penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya. Apabila lebih banyak makanan dari yang diperlukan di satu kota, harga makanan menjadi murah dan apabila lebih sedikit makanan dari yang diperlukan maka harga makanan menjadi mahal sehingga inflasi sebagai kenaikan harga-harga semua atau sebagian besar jenis barang, tidak akan terjadi karena pasarr akan mencari harga keseimbangan tiap-tiap jenis barang. Harga satu barang dapat saja naik, kemudian karena tidak terjangkau harganya maka harga akan turun kembali. Ini yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab ketika terjadi paceklik. Umar saat itu mengimpor gandum dari Fustat (Kairo) ke Madinah dan selanjutnya harga gandum turun.[4]
3. Bank
Bank
merupakan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan
jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Istilah bank berasal dari
bahasa Italia, Banca, yang
berarti meja yang dipergunakan oleh para penukar uang di pasar. Pada dasarnya
bank merupakan tempat penitipan atau penyimpanan uang, pemberi atau penyalur
kredit dan juga perantara di dalam lalu lintas perekonomian. Praktek perbankan
dalam Islam dikenal sejak zaman Abbasiyah, walaupun masih dilakukan secara
perorangan. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata
uang sehingga diperlukan keahlian khusus untuk membedakan antara mata uang yang
satu dengan yang lainnya. Ini terjadi sebagai akibat adanya perdagangan/pasar
internasional, terutama kota yang terkenal adalah kota Isfahan (di Persia),
yang dikunjungi oleh berbagai bangsa dari Timur dan Barat dan memperjualbelikan
barang dagangan mereka.
Nasher
Khusru (w.
481 H/1088 M) mengatakan bahwa dalam pasar kota Isfaham, ada suatu stand khusus
untuk perbankan, yang sekurang-kurangnya diramaikan oleh 200 orang ahli bank
dari berbagai bangsa. Dan menurut Ibnul
Faqien bahwa pada umumnya
para bankir itu datang dari Basrah (Irak), yang membuka pekerjaan perbankan,
menampung para pedagang yang datang dari ujung Timur daerah Islam sampai ke
ujung Barat, yaitu Ferghanah (di perbatasan Irak) sampai daerah Sous di Asia
Kecil.
Menurut Imam Al-Ghazali bahwa perbankan berfungsi sebagai
tempat tukar penukaran mata uang yang berlainan dan perantara untuk pengiriman
uang ke daerah-daerah lain. Namun memperingatkan supaya para bankir dan semua
orang yang berhubungan dengan bank, berhati-hati terhadap dosa riba. Imam
Al-Ghazali menitik beratkan
pandangannya terhadap institusi perbankan dari sudut transaksi perekonomian,
baik antara pribadi dengan pribadi, lembaga dengan pribadi, lembaga bank dengan
lembaga lainnya, negara dengan negara, serta lembaga bank dengan negara, yang
semuanya itu lebih dekat hubungannya dengan dunia perdagangan (jual beli).[5]
[1] Hg. Suseno Triyanto Widodo, Indikator Ekonomi : Dasar Perhitungan
Perekonomian Indonesia (Yogyakarta: kanisius, 1990), 43.
[2] Hg. Suseno Triyanto Widodo, Indikator Ekonomi : Dasar Perhitungan
Perekonomian Indonesia, 45.
[3] Abdullah Zaky Al-Kaff, Ekonomi dalam Perspektif Islam (Bandung:
Pustaka setia, 2002), 211.
[4] M. Umer Chapra, Masa depan Ilmu Ekonom : Sebuah Tinjauan
Islam Cetakan Pertama (Jakarta: Gema insani Press, 2011), 177.
[5] Muhammad, Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam (Jakarta: Salemba
Empat, 2002), 110.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar