This Is My Work

Hukumnya Dana Zakat Diberikan Kepada Anak Yatim Piatu

Gambar
Hukumnya Dana Zakat Diberikan Kepada Anak Yatim Piatu Jika mengacu pada firman Allah QS At-Taubah 60, anak yatim tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang berhak menerima zakat. Atau dalam istrilah perzakatan, biasa disebut sebagai mustahiq. Mereka adalah fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, orang yang dililit utang, orang yang berjuang di jalan Allah, dan musafir alias Ibnu Sabil. Jadi, anak yatim memang tidak masuk golongan penerima zakat yang delapan itu. Akan tetapi, jika si anak yatim itu memenuhi syarat dan kriteria-kriteria di atas—fakir dan miskin, misalnya—dia berhak untuk menerima zakat fitrah—juga zakat penghasilan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ibn Utsaiman di awal tulisan ini: anak yatim yang miskin berhak menerima zakat. Anak yatim tidaklah mendapatkan zakat kecuali jika dia termasuk delapan ashnaf (golongan yang berhak menerima zakat). Anak yatim bisa saja kaya karena ayahnya meninggalkan harta yang banyak untuknya. Bisa jadi ia pun...

Komponen dalam Moneter Islam

 Komponen dalam Konsep Moneter Islam


1.      Mata Uang

Perkembangan ekonomi memerlukan suatu alat tukar yang penggunaannya kekal sepanjang zaman. Alat tukar yang paling tahan itu ialah barang-barang dari logam, seperti : emas, perak, dan tembaga.[1]

Menurut Imam Al-Ghazali (450–505 H / 1058–1111 M), sejarah membuktikan bahwa pada zaman sebelum Nabi Muhammad SAW, orang Arab sudah mengenal adanya mata uang, tetapi semuanya dari luar Arab. Mereka mengenal mata uang emas, yaitu Dinar dari Romawi dalam perdagangan mereka ke Utara (Syiria), dan mengenal mata uang perak, yaitu Dirham dari Persia dalam perdagangan mereka ke Selatan (Yaman). Barulah pada tahun ke-15 H/536 M, yaitu 4 tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW – Khalid bin Walid – pahlawan Islam terkenal itu membuat mata uang sendiri di Thabariyah, daerah Syiria. Dalam pembuatan mata uang pertama itu masih meniru mata uang Romawi. Ia melukisnya dengan gambar, salib, mahkota, dan tongkat kebesaran, sedangkan di sebelahnya ada tulisan dengan huruf Yunani BON. Sedangkan mata uang logam perak – Dirham Islam dibuat tahun 28 H/648 M di Thabaristan (Persia), di mana pada pinggiran mata uang itu ada huruf Arab dengan huruf Kaufah, yaitu Bismillahi Rabbi.

Adapun mata uang Islam yang pertama kali dicetak oleh kantor percetakan negara Islam baru terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Bani Umayyah (65-86 H/685-705 M), sesudah merundingkannya dalam musyawarah dengan para ulama dan pemuka. Maksud pembuatan mata uang itu diketahui oleh Keizer Romawi yang menganggapnya telah merusak hubungan ekonomi antara Arab dan Romawi. Ia mengirimkan surat ancaman kepada Khalifah Abdul Malik agar menghentikan usahanya itu demi hubungan baik antara kedua negara.

Kalau diteruskan juga, tulisan atas nama mata uang harus ditambahkan kata-kata yang tiada sangkut pautnya dengan Islam atau kata-kata yang menghina Nabi SAW. Ancaman tersebut menyebabkan Abdul Malik menganggapnya sebagai kebulatan pendapat dari seluruh umat, termasuk oposisi di masa itu, yaitu partai Syi’ah. Oleh karena itu, ia mengundang pemimpin partai oposisi, Muhammad Al-Baqir untuk datang ke ibu kota Damaskus untuk merundingkan soal yang penting itu. Undangan tersebut dipenuhi oleh pemimpin Syi’ah dan berakhir dengan persetujuan bulat atas maksud baik Khalifah Umayyah, demi kebangkitan perekonomian umat Islam. Dalam mata uang Dinar dan Dirham itu dilukis kalimah tauhid dan disebelahnya ditulis nama Nabi SAW, serta menyebut nama negeri, dan tahun mencetaknya.

Mata uang Islam yang pertama ini diberi nama Dimaskiyah, sesuai dengan nama kota tempat mencetaknya, Damaskus. Khalifah mengirimkan mata uang itu ke seluruh negara, memerintahkan supaya seluruh mata uang Romawi dan Persi dibekukan, serta tidak boleh beredar lagi.[2]

Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa mata uang berfungsi sebagai alat tukar dan nilai harga dalam seluruh transaksi ekonomi, ditetapkan menurut mata uang sendiri.  Oleh karena itu, Al-Ghazali mengecam orang yang menimbun uang. Orang demikian dikatakannya sebagai penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka ini dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada Sang Pencipta dan kedudukannya lebih rendah dari orang yang menimbun uang, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran, sednagkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamannya. Peredaran uang palsu sangat dikecam Al-Ghazali karena kandungan emas/peraknya tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Mencetak uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang itu dipergunakan dan akan merugikan siapa pun yang menerimanya dalam jangka waktu lama.

Al-Ghazali memperbolehkan uang yang tidak terbuat dari emas/perak, seperti uang logam dan uang kertas yang saat ini banyak digunakan asalkan pemerintah menyatakannya sebagai alat bayar resmi dan demikian juga pendapat Ibnu Khaldun, hanya saja pemerintah wajib menjaga nilai uang yang dicetaknya karena masyarakat menerimanya tidak lagi berdasarkan berapa kandungan emas/perak didalamnya. Misalnya, pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 yang setara dengan ½ gram emas. Apabila kemudian pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 seri baru dan ditetapkan nilainya setara dengan ¼ gram emas, maka uang akan kehilangan makna sebagai standar nilai. Namun Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah melarang perdagangan mata uang Dinar dengan Dinar karena akan menghilangkan fungsi dari uang itu sendiri, di samping akan menimbulkan inflasi. Seperti pasar uang yang terjadi saat ini, di mana sebagian besar uang dipergunakan untuk memperdagangkan uang itu sendiri.

Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, mata uang berfungsi sebagai alat penukar dan pengukur harga sebagai nilai usaha, alat perhubungan, dan alat simpanan dalam bank-bank.

 2.      Inflasi

Inflasi merupakan suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang-barang dan jasa-jasa secara umum bukan satu macam barang saja dan sesaat. Sejarah menunjukkan bahwa salah satu negara yang ditandai dengan kenaikan harga secara cepat adalah Mesir di sekitar tahun 330 sebelum Masehi pada waktu pemerintah Alexander Agung menyerbu Persia dengan membawa emas (hasil rampasan tentunya) ke Mesir. Dan juga negara Jerman mengalam hyper inflation pada awal tahun 1920-an di mana laju inflasi mencapai beberapa ratus persen per tahunya. Negara Indonesia juga tidak luput dari penyakit hyper inflationdi tahun 1960-an, di mana laju inflasi mencapai 650%.

Sedangkan dalam sejarah ekonomi Islam, banyaknya peredaran mata uang, terutama fluktuasi harga perak menyebabkan nilai mata uang Dinar dan Dirham selalu naik dari waktu ke waktu dan nilainya pun berbeda dari suatu daerah dengan daerah lain. Perbandingan antara dua mata uang logam itu adalah 10 pada zaman Nabi Muhammad SAW dan tetap stabil pada level itu selam periode keempat khalifah pertama (11-41 H/632-661 M). Namun, stabilitas ini tidak dapat berlangsung terus. Dua logam mulia itu menghadapi berbagai kondisi permintaan dan penawaran sehingga menimbulkan ketidakstabilan harga relatifnya. Umpamanya pada paro kedua periode Umayyah (41-132 H/661-750 M), perbandingan harga relatif sekitar 12, sementara pada periode Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M) mencapai 15 atau kurang. Rasio itu terus mengalami fluktuasi dan berkali-kali mengalami kemerosotan sampai pada tingkat 20, 30, bahkan 50.[3]

Menurut Al-Maqrizi dan Al-Asad (w. 854 H/1440 M), ketidakstabilan ini membuat mata uang dari logam buruk menendang dari sirkulasi mata uang logam baik. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan Al-Maqrizi menghimbau agar negara menghindari dan tidak mencetak mata uang yang berlebihan dalam upayanya menutup defisit anggaran negara karena akan berakibat pada inflasi.

Menurut Ibnu Khaldun, dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah maka kenaikan maupun penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya. Apabila lebih banyak makanan dari yang diperlukan di satu kota, harga makanan menjadi murah dan apabila lebih sedikit makanan dari yang diperlukan maka harga makanan menjadi mahal sehingga inflasi sebagai kenaikan harga-harga semua atau sebagian besar jenis barang, tidak akan terjadi karena pasarr akan mencari harga keseimbangan tiap-tiap jenis barang. Harga satu barang dapat saja naik, kemudian karena tidak terjangkau harganya maka harga akan turun kembali. Ini yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab ketika terjadi paceklik. Umar saat itu mengimpor gandum dari Fustat (Kairo) ke Madinah dan selanjutnya harga gandum turun.[4]

3.      Bank

Bank merupakan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Istilah bank berasal dari bahasa Italia, Banca, yang berarti meja yang dipergunakan oleh para penukar uang di pasar. Pada dasarnya bank merupakan tempat penitipan atau penyimpanan uang, pemberi atau penyalur kredit dan juga perantara di dalam lalu lintas perekonomian. Praktek perbankan dalam Islam dikenal sejak zaman Abbasiyah, walaupun masih dilakukan secara perorangan. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang sehingga diperlukan keahlian khusus untuk membedakan antara mata uang yang satu dengan yang lainnya. Ini terjadi sebagai akibat adanya perdagangan/pasar internasional, terutama kota yang terkenal adalah kota Isfahan (di Persia), yang dikunjungi oleh berbagai bangsa dari Timur dan Barat dan memperjualbelikan barang dagangan mereka. 

Nasher Khusru (w. 481 H/1088 M) mengatakan bahwa dalam pasar kota Isfaham, ada suatu stand khusus untuk perbankan, yang sekurang-kurangnya diramaikan oleh 200 orang ahli bank dari berbagai bangsa. Dan menurut Ibnul Faqien bahwa pada umumnya para bankir itu datang dari Basrah (Irak), yang membuka pekerjaan perbankan, menampung para pedagang yang datang dari ujung Timur daerah Islam sampai ke ujung Barat, yaitu Ferghanah (di perbatasan Irak) sampai daerah Sous di Asia Kecil.

Menurut Imam Al-Ghazali bahwa perbankan berfungsi sebagai tempat tukar penukaran mata uang yang berlainan dan perantara untuk pengiriman uang ke daerah-daerah lain. Namun memperingatkan supaya para bankir dan semua orang yang berhubungan dengan bank, berhati-hati terhadap dosa riba. Imam Al-Ghazali menitik beratkan pandangannya terhadap institusi perbankan dari sudut transaksi perekonomian, baik antara pribadi dengan pribadi, lembaga dengan pribadi, lembaga bank dengan lembaga lainnya, negara dengan negara, serta lembaga bank dengan negara, yang semuanya itu lebih dekat hubungannya dengan dunia perdagangan (jual beli).[5]



[1] Hg. Suseno Triyanto Widodo, Indikator Ekonomi : Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia (Yogyakarta: kanisius, 1990), 43.

[2] Hg. Suseno Triyanto Widodo, Indikator Ekonomi : Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia, 45.

[3] Abdullah Zaky Al-Kaff, Ekonomi dalam Perspektif Islam (Bandung: Pustaka setia, 2002), 211.

[4] M. Umer Chapra, Masa depan Ilmu Ekonom : Sebuah Tinjauan Islam Cetakan Pertama (Jakarta: Gema insani Press, 2011), 177.

[5] Muhammad, Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam (Jakarta: Salemba Empat, 2002), 110.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siapa Yang Mengawasi Kegiatan Ekonomi Syariah??

FIQIH ZAKAT Dan IMPLIKASINYA

Kemiskinan menurut tinjauan filsafat