This Is My Work

Hukumnya Dana Zakat Diberikan Kepada Anak Yatim Piatu

Gambar
Hukumnya Dana Zakat Diberikan Kepada Anak Yatim Piatu Jika mengacu pada firman Allah QS At-Taubah 60, anak yatim tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang berhak menerima zakat. Atau dalam istrilah perzakatan, biasa disebut sebagai mustahiq. Mereka adalah fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, orang yang dililit utang, orang yang berjuang di jalan Allah, dan musafir alias Ibnu Sabil. Jadi, anak yatim memang tidak masuk golongan penerima zakat yang delapan itu. Akan tetapi, jika si anak yatim itu memenuhi syarat dan kriteria-kriteria di atas—fakir dan miskin, misalnya—dia berhak untuk menerima zakat fitrah—juga zakat penghasilan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ibn Utsaiman di awal tulisan ini: anak yatim yang miskin berhak menerima zakat. Anak yatim tidaklah mendapatkan zakat kecuali jika dia termasuk delapan ashnaf (golongan yang berhak menerima zakat). Anak yatim bisa saja kaya karena ayahnya meninggalkan harta yang banyak untuknya. Bisa jadi ia pun...

Sistem Moneter Islam Pada Masa Rasulullah SAW hingga Fuqaha, Pdf.

Sejarah Perkembangan Sistem Moneter Islam
Sistem Moneter Islam Pada Masa Rasulullah SAW hingga Fuqaha



untuk dapatkan materi lebih lengkap bisa download disini free pdf

Kebijakan moneter sebenarnya mampu dijalankan tanpa menggunakan instrumen bunga. Hal ini dibuktikan dpada zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin. Perekonomian di Jazirah Aarab ketika itu adalah perekonomian dagang, bukan ekonomi yang berbasis pada sumber daya alam. Kegiatan ekonomi pasar begitu menonjol pada masa itu, dimana untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas Islam Rasulullah mendirikan al-Hishbah yang merupakan institusi yang bertugas sebagai pengawas pasar (market controller). Rasulullah juga membentuk Baitul Maal, sebuah institysi yang bertindak sebagai pengelola keuangan negara. Baitul Maal ini memiliki peranan yang sangat penting bagi perekonomian termasuk dalam melakukan kebijakan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk memutar roda perekonomian, rasulullah mendorong kerja sama usaha di antara anggota masyarakat seperti (muzara’ah, mudharabah, musaqah dan lain-lain) sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Namun sejalan dengan perkembangan masyarakat Muslim, maka sumber penerimaan negara juga meningkat. Sumber-sumber pemasukan negara berasal daru zakat, ushr, zakat fitrah, wakaf, Amwal fadilah, Nawaib, ghanimah, Shadaqah, Khumus, dan lain-lain.[1] Bila para pedagang melakukan ekspor barang, berarti mereka pun sesungguhnya sedang mengimpor dinar atau dirham. Sistem moneter yang berlaku didunia sekarang ini keberadaannya telah ada setelah melalui beberapa masa evolusi. Sistem moneter yang telah berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW adalah bimetallic standard dimana emas dan perak (dinar dan dirham) bersirkulasi secara terus-menerus.

Pada masa awal kekhalifahan, Rasulullah menetapkan mata uang dinar dirham sebagai standar moneter pada masa itu. Dimana kedua mata uang itu diadopsi dari Romawi dan Persia. Belum ada uasaha untuk mencetak mata uang sendiri. Karenanya proses penawaran dan permintaan uang emas dan perak terkait dengan perdagangan dengan kedua kerajaan tersebut. Pada masa itu bila permintaan uang meningkat maka dinar dan dirham diimpor. Sebaliknya bila permintaan uang turun maka komoditaslah yang diimpor. Besarnya volume komoditas yang diimpor dinar dan dirham juga barang-barang komoditas bergantung pada volume komoditas yang diekspor ke kedua kerajaan tersebut dan ke wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan mereka.

Pada masa berikutnya kandungan dinar (emas) dan dirham (perak) mengalami perubahan di wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya. Sehingga bisa disimpulkan dinar dan dirham meski pada awalnya dari Romawi dan Persia, Islamlah kemudian yang menorehkan pemberlakuan kedua mata uang tersebut dalam kurun waktu yang sangat lama berabad-abad hingga Dinasti Utsmani pada tahun 1924. Standarisasi uang dinar dan dirham pada masa itu berpijak kepada hadist rasulullah saw, “Timbangan adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah” (HR . Abu Daud). Pada zaman khalifah Umar bin Khattab yaitu pada tahun 642 M, bersamaan dengan pencetakan uang dirham pertama kali di kekhalifahan, standar hubungan berat antara uang emas dan perak dibakukan menjadi berat 7 dinar sama dengan berat 10 dirham. Sedangkan berat 1 dinar sama dengan atau sama dengan berat 72 butir gandum ukuran sedang yang dipotong kedua ujungnya Untuk melihat peninggalan sejarah mata uang Islam dapat dilihat ada empat koleksi peninggalan mata uang salah satu diantaranya adalah mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali Ra., sedangkan tiga lainnya adalah mata uang perak yang dicetak di Damaskus dan Mervi sekitar tahun 60-70 H. Untuk melihat peninggalan sejarah mata uang Islam dapat dilihat ada empat koleksi peninggalan mata uang salah satu diantaranya adalah mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali Ra., sedangkan tiga lainnya adalah mata uang perak yang dicetak di Damaskus dan Mervi sekitar tahun 60-70 H. [2]

Sebenarnya, di zaman khalifah Umar dan Utsman Ra. mata uang juga telah dicetak mengikuti gaya dirham Persia dengan perubahan pada tulisan yang tercantum pada mata uang tersebut meskipun, diawal pemerintahan Umar Ra. pernah timbul pemikiran untuk mencetak uang dari kulit. Ide tersebut dibatalkan karena tidak disetujui para sahabat yang lain.

Mata uang khilafah Islam mempunyai ciri khusus yang dicetak pada masa Khalifah Ali ra. Namun sayang, peredarannya sangat terbatas karena kondisi politik pada saat itu. Mata uang dengan gaya persia juga ‘lagi-lagi’ di cetak pada zaman Mua`wiyyah dengan mencantumkan gambar dan pedang, Gubernur Irak, pada masa pemerintahan zaid, mencetak uang dengan mencantumkan nama khalifah. Al-hasil, modus yang dilakukan oleh Mu’awiyyah dan Ziad berupa pencantuman gambar dan nama kepala pemerintahan pada mata uang. Peninggalan tersebut kiranya masih dipertahankan sampai saat ini termasuk di indonesia dalam pembuatan uang dengan pencantuman gambar dan kepala pemerintahan.[3]

Pada masa Abu Bakar Ash-Shidiq masih menjalan kebijakan yang telh dibangun oleh Rasulullah dan masa khalifah kedua, Umar Bin Khattab ia membangun kestabilan moneter dengan memberikan berbagai peluang kesempatan kerja bagi masyarakat dengan menghadiahkan modal tanah kepada masyarakat yang mau menggarapnya lalu membuat saluran irigasi, dan membuka jalan kelancaran distribusi air. Selain itu juga adanya pengurangan beban pajak perdagangan sebesar 50%, membangun pasar-pasar guna untuk menggerakkan roda perekonomian. Dan pada masa Utsman bin Affan lebih mengkonsentrasikan pada peperangan dan penaklukan provinsi baru. Berbeda dengan Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib melakukan upaya pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, dimana sebelumnya kehkalifahan Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan dirham dari Persia.[4]

Hal yang menarik adalah bahwa tidak ada batasan impor uang daat itu karena permintaan internal Hijaz (sebagai wilayah Daulah Islamiyah saat itu) terhadap dinar dan dirham sangat kecil sehingga tidak berpengaruh terhadap penawaran (supply) dan permintaan (demand) dalam perekonomian romawi dan Persia. Sekalipun demikian selama pemerintah Rasulullah uang tidak dienuhi dari keuangan negara semata melainkan dari hasil perdagangan luar negeri. Melainkan dari hasil perdagangan luar negeri. Belum dicetaknya mata uang tersendiri dengan ciri khas Islam oleh Khilafah Islam berlangsung selama masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin serta masa-masa awal Bani Umayyah. Ketika Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah barulah dicetak dinar Islam dengan karateristik serta berat tertentu yang bersifat tetap. Sebelum itu tidak ada dinar dan dirham Islam, meskipun dinar dan dirham secara aplikatif telah diberlakukan dan dipakai sebagai standar moneter.

Dari fenomena tersebut dapat dipahami bahwa negara yang mencetak mata uang khusus hukumnya boleh (mubah). Namun demikian demi menjaga perekonomian dan moneter negara dari kemerosotan serta menghindari dominasi dan kendali negara asing, mencetak mata uang hukumnya dapat menjadi wajib. Selain itu tidak ada keharusan untuk menjadikan emas dan perak (dinar dirham) sebagai standar moneter (full bodied bimetalic standard).

Hal ini secara jelas terlukiskan dalam fakta sejarah bahwa Khalifah Umar bin Khatab pernah berpikiran untuk memperkenalkan kulit unta sebagai mata uang yang kemudian membawa refleksi bagi tulisan-tulisan para fuqaha (ahli fikih) melalui sejarah Muslim. Contoh, Imam Ahmad bin Hambal (w 241 H/1328 M) telah mengamati bahwa tidak ada kerusakan dalam pengadopsian mata uang lain yang secara umum diterima oleh masyarakat. Ibnu Hazm (w 456 H/1064 M) juga tidak menemukan beberapa alasan bagi kaum Muslimin membatasi mata uangnya hanya kepada dinar dan dirham. Ibnu Taimiyyah (w 505 H/1328 H) merasa bahwa dinar dan dirham tidak dinginkan untuk demi milik mereka saja karena kemampuannya membantu menjadi media alat pertukaran. Namun, hal ini bukanberarti bahwa seseorang dapat mengeluarkan mata uang dalam berapapun jumlahnya. Para fukaha’ secara mayoritas telah menekankan bahwa mata uang harus diterbitkan oleh aturan otoritas dan harus mempunyai nilai yang stabil, mampu menunjukan efisiensi fungsinya sebagai measure of value, a medium of exchange dan a store of purchasing power. Stabilitas nilai uang merupakan prioritas utama dalam bidang manajemen moneter karena stabilitas nilai uang akan dapat

Selain tidak ditemukan ketentuan ini secara spesifik dalam al-Qur’an dan sunnah, khalfah umar bin khattab telah mencoba untuk memperkenalkan jenis uang dari kulit binatang dan beberapa fuqaha terkemuka juga mendukung keberadaan uang fiducier ini, seperti Ahmad ibn Hambal, Ibn Hazm dan Ibn taimiyyah. Merujuk pada pendapat para fuqaha tidak ditemukan keharusan memakai emas dan perak sebagai alat pembayaran meskipun meskipun pada masa itu keberadaan full bodied money merupakan sebuah kelaziman. Namun meskipu membolehkan uang fiducier, Ibn Taimiyah telah mengingatkan bahwa penggunaan uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar dari peredaran karena ada hukum Gresham. Imam Al-Ghazali memperbolehkan penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas atau perak selama pemerintah mampu menjaga nilainya.

Secara umum para fuqaha telah menyepakati bahwa hanya otoritas yang berkuasa saja yang berhak untuk mengeluarkan uang tersebut dalam hal ini a-Ghazali mensyaratkan pemerintah untuk menyatakan uang fiducer yang dicetak sebagai alat pembayaran yang resmi, wajib menjaga nilainya dengan mengatur jumlah uang yang beredar sesuai dengan kebutuhan dan memastikan tidak adanya perdagangan uang. Penekanan al-Qur’an mengenai uang adalah jaminan adanya keadilan dalam fungsinya sebagai alat tukar, alat ukur dan alat penyimpan daya beli.




[1] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Yogyakarta: Rajawali Pers, T.thn), 98.

[2] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani, 2005), 58.

[3] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, 60.

[4] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, 102-104.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siapa Yang Mengawasi Kegiatan Ekonomi Syariah??

FIQIH ZAKAT Dan IMPLIKASINYA

Kemiskinan menurut tinjauan filsafat